Seseorang Harusnya Berpikir Sekaligus Merasa
Saya selalu percaya bahwa dunia
ini terdiri dari dua komponen yang tidak bisa dipisahkan, sejak keduanya
merupakan satu kesatuan yang ada dan tercipta serta saling melengkapi dalam
sebuah lingkup ruang dan waktu yang dinamakan kehidupan. Komponen tersebut ialah
pikiran dan perasaan. Di dunia pun, kita mengakui adanya keterberpihakan akan
suatu hal yang membuat kita cenderung memiliki preferensi dalam arti menyukai maupun memilih yang satu lebih daripada yang lain, contohnya memilih perasaan daripada logika atau sebaliknya. Preferensi
yang terlalu diyakini kadang menyebabkan kita hidup di dalam satu warna absolut, di mana hal lain yang tadinya kurang menjadi prioritas berubah menjadi sesuatu
yang tidak diyakini lagi secara mutlak atau dikenal dengan ketiadaan.
Seseorang akan meyakini hal yang
satu benar kemudian hal yang lain salah. Secara pribadi saya pun meyakini sesuatu
namun sedikit berbeda. Saya selalu memilih untuk berdiri di garis
perbatasan, berkaca pada hasil pemikiran Hagel mengenai konsep hukum dialektika;
tidak ada satu kebenaran yang bersifat absolut,
yang absolut hanyalah semangat revolusioner-nya.
Layaknya pujangga dan penyair
besar Persia, Jalaluddin Rumi dalam kumpulan tulisan dan sajak-nya;
“Kebenaran adalah sebuah cermin di tangan Tuhan. Cermin itu jatuh dan pecah berkeping-keping. Tiap-tiap orang memungut satu keping, lalu mereka bercermin dan mengira telah menemukan kebenaran secara utuh.”
Belakangan ini, saya banyak
membaca dan mendapatkan berbagai referensi, ide serta gagasan dari individu-individu
diluar diri saya sendiri. Sesungguhnya, semua gagasan dan pemikiran tersebut
tidaklah diterima atau pun dibuang secara keseluruhan tetapi saya coba gabungkan
menggunakan kedua komponen yang dimiliki ke dalam suatu warna yang berada di
garis samar atau abu-abu.
Banyak orang berpandangan bahwa
dunia berwarna dasar hitam dan putih. Seperti layaknya sebuah foto dikatakan
hitam-putih, padahal jika diperhatikan warna yang ada tidak sepenuhnya hitam
pun tidak sepenuhnya putih melainkan irisan keduanya.
Rumi dengan kritiknya terhadap filsafat
dan pengultusan rasio layaknya J.J. Rousseau pernah pula menulis;
“Jika kau mendefinisikan dan membatasi “Aku” dengan berbagai konsepmu, maka kau akan kelaparan dengan dirimu sendiri. Lalu “Aku” pun akan jatuh ke dalam suatu kotak yang terbuat dari kata-kata, dan kotak itu adalah peti mayatmu sendiri.”
Sedangkan Socrates, seorang ahli filsuf
Yunani kuno yang ternama dengan pemikirannya berpendapat bahwa manusia harus
berpikir dan mengenali dirinya sendiri agar tidak diombang-ambingkan keadaan.
Keduanya pun berada pada titik
kebenaran yang tidak absolut, karena sesungguhnya kedua hal tersebut harusnya
berjalan dalam satu garis paralel. Berjalan pada garis tersebut berarti memakai
kedua komponen (pikiran dan perasaan) secara bersamaan, dan hal tersebut merupakan persetujuan dari
seorang individu akan tidak adanya kebenaran yang mutlak, namun segala
sesuatunya punya porsi untuk saling melengkapi.
Sebuah kehidupan layaknya trilogi
tesis, anti-tesis serta sintesis. Jika seseorang berpihak pada hati lebih dari
pemikiran dan logika, mengapa tidak dibuat sebuah sintesis yang merupakan
gabungan dari keduanya begitu juga sebaliknya. Jika seseorang mencoba memilih
tidak memanfaatkan salah satu unsur atau komponen, mengabaikan aspek yang lain
daripada yang satu, apakah layak dan berhak untuk menghilangkan apa yang sudah
ada - terlepas dari siapa yang menciptakannya - dalam suatu tubuh dan kesatuan
bernama manusia?
Saya mengagumi pemikiran kritis para filsuf
dan pula mengagumi torehan hati serta kemabukan cinta para pujangga dan
penyair. Seperti yang pernah ditulis Rumi dengan indah;
“..Setelah itu kau pun naik menjadi manusia – mahluk yang mewarisi pengetahuan melalui akal dan iman..”
Sesungguhnya, tidak salah menjadi
sangat yakin terhadap sesuatu namun yakinlah pula bahwa aspek kehidupan
tidaklah hanya satu.
Comments